Senin, 25 Juli 2011

Senin, 25 Juli 2011

Antara Dakwah dan Maisyah

Suatu malam di sebuah surau perkampungan daerah transmigrasi, seorang lelaki setengah baya, sebut saja Amin, duduk dikelilingi belasan orang tua muda. Kulitnya legam terbakar matahari. Namun wajahnya menyemburatkan cahaya ketulusan dan keikhalsan. Matanya memancarkan semangat. Semangat menyelamatkan masyarakat dari keterpurukan dan kehancuran serta menuntun mereka ke jalan keselamatan: Islam.

“Saudara-saudara, sebagaimana Allah menginginkan kita menjadi hamba-Nya saat kita shalat, saat kita berpuasa, Allah juga menginginkan kita menjadi hamba-Nya saat kita bertani, bercocok tanam, berdagang, bergaul dengan tetangga…” Itulah sebagian kalimat yang meluncur dari mulutnya.Begitulah setiap malam ia keliling daerah trans itu dari suarau ke surau lainnya yang berjarak kiloan meter. Bukan itu saja, selain memberi ia juga tetap menerima ilmu sebagai perbekalan dan dorongan ruhiyah. “Kalau memberi terus tanpa menerima bisa tekor saya,” kilahnya setengah becanda. Membina dan dibina. Itulah salah satu prinsip hidupnya. Untuk yang terakhir itu ia harus datang ke ibukota provinsi paling tidak satu kali dalam sebulan. Di tangannya telah berbilang orang mendapat hidayah Allah dan bahkan menjadi kader dakwah. Lalu apa yang dilakukannya di siang hari? Inilah yang menarik. Selain mengurus ladang garapan sebagaimana layaknya para transmigran, ia juga menggulirkan roda bisnis: keluar masuk kampung berjualan bubur!Penghargaan IslamIslam memberikan penghargaan kepada orang yang bekerja untuk mencari ma’isyah (penghidupan). Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah seorang Muslim menaman tanaman melainkan setiap yang dimakan dari tanaman itu merupakan shadaqah dan yang dicuri darinya merupakan shadaqah. Dan tidaklah dikurangi oleh seseorang melainkan itu merupakan shadaqah.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah seorang muslim menanam tanaman lalu manusia atau binatang atau apa pun memakan darinya melainkan itu menjadi shadaqah baginya.” (HR Al-Bukhari dan Muslim)Rasulullah pun berasabda, “Allah merahmati orang yang berusaha (mencari penghidupan) yang baik, membelanjakan harta dengan hemat dan menyisihkan kelebihan untuk menghadapi masa fakir dan membutuhkan.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).Karenanya Rasulullah saw memberi semangat kepada kaum muslimin untuk tidak mengabaikan peluang sekecil apa pun untuk bekerja mencari rezeki dan berproduktifitas. Rasulullah saw bersabda, “Apabila kiamat datang dan di tangan seseorang di antara kamu ada benih pohon, jika ia bisa menanamkannya sebelum bangkit maka tanamlah (Al-Bukhari)Sepuluh orang sahabat Nabi yang dijamin masuk surga (yakni Abu Bakar Ash-Shidiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Zubair bin Awwam, Amru bin ‘Ash, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdullah bin Rawahah, dan Thalhah bin Ubaidillah) semua memiliki aktifitas mencari ma’isyah. Dan rata-rata aktifitas mereka adalah bisnis.Dalam pandangan Islam, aktifitas dakwah tidaklah lebih mulia dari mencari ma’isyah untuk menghidupi diri dan keluarga. Keduanya adalah perintah Allah yang harus dijalankan. Dakwah adalah upaya untuk menyampaikan hidayah kepada Allah. Mulianya dakwah digambarkan oleh Rasulullah saw dengan sabdanya, “Jika Allah memberi petunjuk kepada seseorang melalui (usaha, dakwah) kamu maka hal itu lebih baik bagimu daripada dunia dengan segala isinya.”Nah, manfaat dari adanya ma’isyah yang menjadi pegangan da’i adalah untuk memelihara dan mempertahankan luhurnya nilai aktifitas memberi hidayah kepada Allah itu sehingga ia menjalankan dakwah memang benar-benar sebagai proyek dengan tujuan untuk menyebarkan hidayah kepada manusia.Jika demikian, tampaknya Amin adalah sosok dai ideal dari sisi bahwa dakwah dijalankannya tidak menjadi alasan untuk tidak mencari ma’isyah. Dan sebaliknya, mencari ma’isyah tidaklah menjadi penghalang bagi aktifitas dakwah. Ia menggarapnya secara seimbang. Begitulah Rasulullah saw mengajarkan kepada umatnya. Bahkan para Nabi pun adalah orang-orang yang mempunyai aktifitas kerja untuk mencari ma’isyah. Beliau menegaskan, “Tidaklah seseorang mengkonsumi makanan yang lebih baik dari hasil kerja tangannya. Dan sesungguhny nabiyullah Daud memakan makan dari hasil kerjanya sendiri.” (Al-Bukhari)Sangat beralasan bila Imam Hasan Al-Banna menggambarkan sosok muslim ideal dan dai ideal sebagai orang yang memiliki sepuluh sifat asasi. Kesepuluh sifat asasi tu adalah akidah yang lurus, berbadah secara benar, berakhlak mulia, berbadan kuat, akal terintelektualisasi, mampu berusaha, mampu mengendalikan hawa nafsu, teratur dalam segala urusannya, memanfaatkan waktu dengan baik dan efektif, dan bermanfaat bagi orang lain. Beliau menempatkan kemampuan untuk berusaha mencari ma’isyah sebagai salah satu sifat asasi yang harus ada pada seorang muslim terlebih lagi bagi aktifis dan dai.Lebih rinci lagi Imam Syahid Hasan Al-Banna mengatakan, “Islam menganjurkan umatnya untuk bekerja dan mencari rezeki. Islam menganggap usaha mencari rezeki sebagai kewajiban yang harus ditunaikan oleh orang-orang yang mempunyai kemampuan, Islam juga menghargai dan menyanjung orang yang mempunyai pekerjaan dan keahlian; mengharamkan meminta-minta serta menyatakan bahwa sebaik-baik ibadah adalah bekerja. Bekerja (mencari ma’isyah) adalah sunnah para nabi. Islam juga menerangkan bahwa sebaik-baik usaha adalah mencari rezeki dengan tangannya sendiri. Sangat berdosa orang yang menjadi pengangguran dan orang yang hidup dari belas kasihan masyarakat, meskipun dengan alasan agar ibadahnya tidak terganggu. Islam tidak mengenal prinsip hidup menganggur ini.” (Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin Jilid 1). Bahkan, dalam bagian lain Imam Hasan Al-Banna juga menegaskan pentingnya berusaha sekalipun saat ini sudah kaya.Lalu bagaimana dengan pandangan bahwa dakwah harus digarap secara professional? Dan dalam banyak hal profesionalitas menuntut waktu yang penuh, sebagaimana orang yang bekerja di kantor berhak mendapatkan imbalan dari hasil keringatnya. Maka apa yang salah pada seorang dai yang telah mempersembahkan seluruh waktu dan tenaga sehingga tidak ada lagi kesempatan untuk mencari ma’isyah bila dia menerima persembahan tulus dari orang-orang yang merasa berterima kasih padanya?Pandangan itu tidaklah salah. Rasulullah saw pun bukan saja memperbolehkan, melainkan juga memerintahkan untuk menerima pemberian selama pemberian itu bernilai sebagai pemberian. Artinya bukan tujuan untuk menyuap atau menyumbat suara dakwah sehingga tidak lagi berpihak kepada kebenaran.Komprominya dapat diikat dalam beberapa simpul berikut: Pertama, idealnya seorang dai mempunyai lahan ma’isyah. Tentu bentuknya yang tidak mengganggu aktifitas dakwah bahkan kalau bisa sejalan dengannya dan mendukungnya. Kedua, dai tidak harus menolak pemberian jasa baik orang yang bermaksud memperhatikan kesejahteraan para dai serta merasa berhutang budi padanya.Ketiga, dai harus tetap menjaga keikhlasan dan menegaskan dalam hati bahwa tujuan dakwah adalah untuk menyampaikan hidayah Allah kepada manusia. Jangan sampai terjadi sebuah masjid atau sekelompok masyarakat tidak dapat menyelenggarakan penyampaian hidayah (baca: pengajian) karena tidak kuat untuk mendanai muballigh. Kita diingatkan oleh Allah swt, “Ataukah kamu meminta upah kepada mereka sehingga mereka terbebani?” (Ath-Thur: 40). Insya Allah tiga hal itu bias menjadi rambu-rambu bagi dai dalam menjalani aktiftas dakwah dan ma’isyah. Allahua’lam.


*sumber : islammedia.web.id

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates